cyber warriors reveal the truth

05 November 2008


Oleh Nirwan Syafrin Arma

Isu seputar penegakan Syari’at Islam merupakan salah satu tema kontroversi yang paling banyak diperdepatkan dan didiskusikan oleh banyak orang. Tak kurang dari cendikiawan Muslim dan non-Muslim, aktivis gerakan Islam dan LSM, politisi, dan pengamat dan juga diplomat Barat ikut meramaikan perdebatan ini. Dengan latar belakang para partisipan yang berbeda, bisa ditebak bahwa respon setiap indidvidu maupun kelompok juga beragam. Ada yang pro, kontra, dan juga yang sinis.

Bagi ummat Islam isu penegakan Syari’at Islam dapat dikatakan baru. Ia mucul mungkin sekitar dekade-dekade terakhir abad dua puluh. Sebelumnya isu ini tidak terlalu mendapat perhatian masyarakat awam dan cendikiawan Muslim. Apalagi dikalangan ‘ulama silam, hampir dapat dipastikan bahwa isu perlu tidaknya atau wajib tidaknya menerapkan Syari’ah Islam sama sekali tidak disentuh. Seolah-olah telah ada kesepakatan bahwa pelaksaan Syari’at Islam adalah sebuah harga mati yang tak dapat ditawar lagi. Mungkin disebabkan inilah makanya hampir keseluruhan kitab-kitab klasik Islam terutama kitab fiqh dan tafsir hanya membatasi dirinya pada penafsiran makna-makna al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dan menerangkan bentuk praktikal dari perintah-perintah ilahiah tadi.

Keadaan berubah secara drastis sejurus jatuhnya empayar ‘Uthmaniyah. Diskusi tentang format hubungan politik dan negara segera mencuat dan peredebatan menjadi sengit dan intense berikutan terbitnya buku ‘Ali ‘Abd al-Raziq, salah seorang guru besar al-Azhar, berjudul al-Islam wa Usul al-Hukm tahun 1925. Dalam buku tersebut al-Raziq secara eksplisit menafikan hubungan agama dan politik (negara) dan menyatakan bahwa nabi Muhammad saw hanyalah seorang pemimpin spritual bukan seorang politisi atau pemimpin negara. Misi utamanya hanya sebatas pada penyampaian risalah ilahiyah dan risalahnya hanya berhubungan dengan masalah keagaaman bukan keduniaan. Mungkin sejak saat itulah isu penerapan Syari’at menjadi topik sentral yang tak henti-hentinya didiskusikan dan diperdebatkan banyak kalangan.

Buku ini mendapat reaksi berbeda. Bagi kalangan sekularis ide-ide Raziq dianggap berani, brillian, dan tepat pada masanya, oleh sebab itu layak untuk dipertimbangkan. Bagi mereka kata-kata Raziq bagaikan kalimat sakti dan suci layak untuk diulang-ulang sebagai justifiikasi yang sah menolak Syari’ah Islam. Sayang mereka sama sekali tidak mengindahkan kritikan-kritikan keras dan pedas tokoh intellektual Muslim dan ‘ulama Islam yang dilontarkan terhadap Raziq. Mereka tetap saja berkukuh untuk bergantung ditali rapuh yang diraur Raziq.

Era Kebangkitan Islam (al-sahwah al-Islamiyah)

Pro-kontra tentang penerapan Syari’ah Islam terus berlanjut seiring dengan perjalanan waktu. Meskipun ditentang dengan kuat baik oleh orang Muslim sendiri maupun politisi dan intelektual Barat, usaha-usaha untuk menegakkan Syari’at Islam di dunia Muslim tetap berjalan. Dan tahun 1970an usaha ini sepertinya mendapatkan momentumnya. Ini terlihat dengan makin maraknya ghirah-ghirah keislaman di lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia Muslim. Simbol-simbol keislaman semakin marak berkibar. Jumlah wanita yang memakai jilbab serta pria yang memelihara jenggotnya semakin bertambah, bilangan mesjid serta jemaahnya terus meningkat, organisasi-oragnisasi Islam baik tingkat nasional maupun internasional menjamur, dan tak sedikit kaum professional yang beralih arah menjadi Muslim-Muslim yang taat beribadah. Oleh beberapa media massa Indonesia pada awal 1990an dikatakan sedang mengalami proses ‘islamisasi’ besar-besaran meskipun oleh sebagian orang dikatakan hanya sekedar lipstik bukan pada substance.

Penomena ini juga berlaku dibelahan dunia lain. Negara Arab Syria Pada pertengahan 1970an Hafez al-Asad (m. 2000) secara terpaksa harus menerima perubahan Konstitusi negaranya dengan memasukkan perenggan yang mensyaratkan presiden negara tersebut beragama Islam. Mesir juga melakukan perubahan yang sama. Tahun 1981 Anwar Sadat (m. 1981) harus rela mengamendemen Konstitusi negaranya dengan menyatakan Syari’ah Islam sebagai sumber terpenting Hukum Mesir. Di Sudan presiden Numairi juga mengkempanyekan pengimplementasian Syari’ah Islam terutama yang berkenaan dengan Hukum Pidana. (Najib Ghadbian, 1997: 67)

Dengan melihat penomena ini banyak penulis akhirnya menyimpulkan bahwa tahun 1970an memang merupakan awal sebuah kebangkitab Islam. (Esposito, 1996: 11; Ira M. Lapidus, 1983, 6) Huntington sendiri sempat menulis begini (1960: 111), “Beginning from 1970s Islamic symbols, beliefs, practices, institutiosn, policies, and organizations won increasing commitment and support throughout the world of 1 billion Muslims stretching from Morocco to Indonesia and from Nigeria to Kazakahstan.”

Banyak faktor dikatakan yang bertanggungjawab yang mendorong lahirnya penomenan kebangkitan Islam ini. Philip Khoury (l983:214) menuduh kegagalan pemerintah berideologi sekuler yang didukung oleh kekuatan Barat dalam memenuhi aspirasi rakyatnya sebagai faktor utama. Pemerintah gagal mengangkat tarap ekonomi hidup rakyatnya. Belum lagi ditambah dengan kekalahan negara Arab Islam pada perang enam hari melawan Israel yang digambarkan oleh banyak kalangan sebagai kekalahan yang memalukan dan mengaibkan. Dimata rakyat banyak kegagalan dan kekalahan ini sama saja artinya dengan kegagalan ideologi penopang pemerintah. Bagi mereka ideologi Barat gagal merubah hidup mereka. Ditengah kegagalan ini Islam menawarkan alternatif.

Namun demikian Najib Ghadbian (1997:64) menolak pendapat Critical Theorists seperti yang dianut Khury yang mereduksi gerakan kebangkitan Islam kontemporer kepada respon terhadap hancurnya kehidupan sosial dan ekonomi ummah semata. Baginya pendapat ini seolah-olah menidakkan kenyataan sejarah bahwa gerakan Islamisasi ini adalah sebuah proses yang telah berjalan cukup lama. Dan berdasarkan pandangan ini, lanjut Ghadbia, mereka seolah-olah ingin mengatakan bahwa “If economic problems are solved, the implication is Islamists will fade away,” hal yang bagi Ghadbian tidak benar sama sekali.

Khursid Ahmad sependapat dengan Ghadbian. Kata Khurshid gerakan kebangkitan Islam hari ini merupakan bagian proses panjang sejarah peradaban Islam yang dikenal dengan tajdid. Jadi ia bukan baru, tandas Khurshid. (1983:220) Kata Ahmad Aziz “Islah is deeply rooted in the basic soil of Islam.” (Encylopedia of Islam, 1978, 4:141) Fazlur Rahman memperkuat pendapat ini dengan pernyataannya bahwa: “...not all reforms in Islam in recent centurtis date from the dawn of modernity.” (Islamic Studies, no.2:113)Ibrahim Abu Rabi’ melihat bahwa kedua faktor internal dan eksternal berperan penting dalam proses Kebangkitan Islam kontemporer. “The point to be made here is that both the external factorts-the West, capitalism, and social and economic forces- and internal factors - Islamic tajdidm and the like - have produced this pehenomenon, and that both sets of factors are modern themselves.” (1996: 54) Apapun faktor pendorongnya, gerakan yang menuntut penerapan Syari’at Islam adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat hari ini terutama sekali ditengah morat-moratnya pranata sosial, budaya, politik, dan ekonomi ummah.

Syari’at Islam dan Tuntutan Zaman

Semakin gencar gerakan menutut pelaksaan Syari’at Islam, semakin kuat pula suara-suara penantangan terhadapnya. Ada beberapa argumen yang selalu dibentangkan untuk menjustifikasi penentangan mereka terhadap penerapan Shari’ah Islam. Diantaranya ada yang bernuansa politis dan tak sedikit pula yang berkedok ilmiah. Diantara alasan popular yang selalu mereka kemukakan adalah bahwa agama adalah urusan individu bukan menyangkut publik, oleh sebab itu negara tidak punya hak untuk campur tangan. Faraj Fawdah dalam salah satu debat secara terus terang pernah menyatakan: “secara sederhana saya menolak penerapan Syari’at Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau step by step... karena saya melihat dalam penerapan Syari’at Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negara agama)... barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sendirinya dapat menerima applikasi Syari’ah Islam... dan barangsiapa menolaknya maka dia meolak penerapan Syari’at Islam.” (Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syari’ah, 14).

Dan argumen diantara argumen mereka yang terpenting adalah bahwa hukum Islam yang ada sekarang tidak sesitive dan responsive terhadap perkembangan zaman. Hukum-hukum Islam dikandung dalam al-Qur’an dan di elaborasi oleh oleh para faqih dan mufassir sudah outdate alias ketinggalan zaman; ia tidak dapat meciptakan kebaikan dan kemaslahatan bagi ummat manusia hari ini. Padahal kata mereka kemaslahatan itu adalah merupakan obketif asas dari di Syari’atkan hukum. Apabila sesuatu hukum itu tidak lagi dapat menciptakan kemsalahatan maka sudah selayaknya ditinggalkan saja dan diganti dengan hukum lain yang dapat merealisasikan objetif tadi. Untuk memperkuat argumen ini mereka telah menggunakan teori Maqasid yang dikembangkan dan dipopularkan oleh Syatibi.

Pendapat terakhir ini kebanyakannya dianut oleh kaum liberalis. Karena dalam pandanagan kelompok ini seperti yang diungkap oleh Binder (1988:4) “the language of the Qur’an is coordianate with the essence of revelation, but the content and meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur’an do not exhaust the meang of revealtion, there is a need for an effort at understanding which is based on the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed langauge.” Yusuf Qaradawi menggelar mereka sebagai neo-Mu’attalah (orang yang mengabaikan nas-nas al-Qur’an). Kelompok ini kata Qaradawi selalu menggunakan konsep maqasid Syari’ah sebagai alasan untuk tidak berpegang kepada nas al-Qur’an yang oleh para ‘ulama dikategorikan valid dalam hal transmisi (qat’i al-wurud) dan juga valid dalam hal maknanya (qat’iy al-dilalah). Dalam kerangkan berpikir inilah para kaum liberalis akhirnya menolak hukum hudud, qisas, jilbab, hukum waris, piligami dan seterusnya.

Menurut hemat saya kerangka berpikir seperti ini dibangun atas dua fondasi. Pertama pandangan mereka bahwa al-Qur’an adalah merupakan respons langsung kepada struktur sosial-budaya yang patriarki, sistem ekonomi yang opresif, politk yang despotik dan koruptif masyarakat Arab ketika itu. Sebagai jawaban terhadap sistem ini diturunkanlah al-Qur’an dengan sistem hukum yang bersifat transformatif, liberatif dan emansipatif, egalitrianisme, dan humanisasi yang sebenaranya tujuan uatmannya dalah menciptakan keadialan(al-adalah) dan persmaan (al-musawah), pembebasan (al-hurriyah), serta perdamaian dan kerukunan (as-salamah, al-maslahah). Dalam konteks ini Fazlur Rahman(1979:2) pernah menuliskan: “The Qur’an is the divine response to Qur’anic times, through the Prophet’s mind, to the moral-social situation of the Prophet’s Arabia, particularly to the problems of the commercial Meccan society of his day.” Dengan kata lain hukum-hukum yang terkadung dalam al-Qur’an itu sangat dipengaruhi dan dipenuhi oleh nuansa masyarakat Arab ketika itu. Sistem hukum yang dibangunnyapun adalah merefleksikan sturktur sosial-budaya, serta ekonomi dan politik masyarakat abad ketujuh. berdasarkan hal ini maka adalah kesalahan besar bagi mereka untuk mengadopsi dan selanjutnya menggaplikasikan hukum ini pada zaman sekarang ini, karena ia sudah tidak sesuai lagi. Ketika menyinggung hukum Islam yang berhubungan dengan urusan publik seperti hukum hudud, qisas, dan yang sejenisnya an-Na’im (1990:59) mengatakan bahwa: “the public law of Shari’a was fully justified and consistent with historical context. But it does not make it justified and consistent with present context. Furthermore, given the concrete realities of the modern nation-state and present international order, these aspects of the public law of Shari’a are no longer politically tenable.” Nasr Hamid Abu Zayd bahkan lantang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah muntaj thaqafi (produk budaya).

Argumen mereka yang kedua, dan masih berhubungan dengan argumen pertama, adalah prinsip Maqasid Syari’ah (objektif Shari’ah). Kaum liberalis berpendapat bahwa setiap hukum yang diperintahkan Allah mempunyai obkektif/maqasid utama. Objektif itu adalah kemaslahatan manusia. Kata Rahman: “The Qur’an always explicates the objectives or principles that are the essence of its law.” (1979:154) Maslahah, lanjut mereka, dapat berubah menurut peredaran waktu dan tempat. Apa yang dianggap maslahah hari ini dan ditempat mungkin tidak lagi menjadi maslahah pada masa lau atau akan datang dan ditempat yang lain. Demikian juga apa yang dianggap maslahah oleh masyarakat Arab abad ketujuh belum tentu menjadi maslahah bagi masyarakat hari ini. Bagi mayarakat Arab hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina dapat menciptakan kemasalahatan bagi masyarakat ketika itu, kata Nurcholish. Karena dalam masyarakat yang kasar dan ganas seperti itu hukuman seperti itulah yang pantas dan layak untuk dilaksanakan. (Abdullah Saeed, 1997:286) Kata Muhammad ‘Abid al-Jabiri: “jadi (hukum) potong tangan merupakan peraturan rasional yang sangat tepat untuk masyarakat baduwi padang pasir yang penduduknya hidup tanpa ikatan dan nomadik.” (1996:171) Dengan perkembangan dan perubahan yang berlaku hari ini, hukum seperti ini sudah tidak lagi dapat menciptakan kemaslahatan bagi ummat manusia hari ini. Artinya hukum potong tangan itu tidak dapat menjadikan manusia merasa aman dari pencurian dan juga tidak dapat menghalang jenayah ini berlaku. Bagi kelompok ini hukuman yang ada sekarang inilah yang dapat menciptakan rasa aman bagi manusia, bukan hukum potong tangan. Menurut Qasim Haj Hamad (1996: 263) hal ini bukan berarti bahwa kita telah merubah prinsip hukuman hudud secara an sich. Prinsipnya tetap. Apa yang berubah hanyalah mekanisme pelaksanaan hukuman itu. Dan ini sesuai dengan firman Allah surah al-Maidah: 48, katanya. Senada dengan Hamad Farhan Nur Farhat, professor dan dekan di fakultas hukum universitas Zaqaziq, juga melontarkan ide yang sama. Dia mengakui bahwa hukum Islam itu ada yang berubah dan ada yang absolute. Yang absolute baginya adalah prinsip, ide pokok dari hukum-hukum tersebut. Adapun ukuran dan bentuk hukum itu termasuk kategori mutaghayyirat (berubah). Berdasarkan dalil ini, seperti Jabiri, Nur Farhat juga menolak hukum potong tangan karena sudah tidak relevan dengan norma dan nilai hidup masyarakat hari ini. (Al-Qaradawi, 2000: 232&234) Seiring dengan argumen diatas makanya Abdullah Ahmad Na’im menyatakan bahwa “current international law, including human rights standards established thereunder, cannot coexist with corresponding principles of Shari’a.” (1990:6) Dibahagian yang lain dia juga menuliskan “Shari’a violates some of the most fundamental international human rights standard.” (1990:9)

Sebenarnya ide-ide inilah yang telah di boyong dan disusung oleh kelompok Jaringan Liberal (JIL) di Indonesia. Ulil Absar Abdalla, yang dijadikan “tokoh” oleh JIL, telah “menelan dan mengunyah” mentah-mentah ini dan ‘muntah”kannya dalam artikel singkatnya “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” (Kompas, 18/11/2002). Haidar (Kompas, Jumat, 13 Desember 2002) benar bahwa sesungguhnya tidak ada yang baru dalam tulisan Ulil tersebut. Ia hanya mengulang lagu lama dan menjualnya dengan format baru. Ide-ide seperti ini sudah banyak direspon dan dikritisi oleh cendikiawan Muslim kontemporer. Tapi sayang baik Ulil maupun konco-konconya tidak mau mencurahkan sedikit tenaga untuk merujuk tulisan-tulisan mereka tersebut. Andai saja itu dilakukan paling tidak mereka akan sedikit lebih objektif untuk menerima dan menilai ide-ide liberal seperti terungkap diatas.

Ketetapan Nass dan Objetif Syari’ah

Bahwa setiap ketetapan hukum Islam mempunyai objetif dan objektif utamanya adalah kemaslahatan manusia adalah sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan ‘ulama dan cendikiawan Islam sejak dahulu hingga sekarang ini. Dalam bukunya al-Burhan Imam Juwayni telah lebih dulu mendiskusikan perihal Maqasid ini dan katanya: “pertimbangan kami yang utama adalah merujuk ke tujuan dan objektif tertinggi mereka. Seseorang yang mengenepikan objektif ini dari praktek (keseharian kita) tidak akan dapat memahami Syar’iah secara paripurna.” (al-Burhan, t.t., 1:294-295) Kemudian diikuti oleh Gahzali yang kemudian mensistemasikan Maqasid Syari’ah ini menjadi tiga kategori, daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. (Shifa’ al-Ghalil, 161-172) Teori ini kemudian oilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi. Dalam tulisannya dia menyatakan bahwa: “Hal ini (maksudnya maslahah) mestilah menjadi bagian dari Syari’ah, karena tujuan utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (masalih).” (Al-Mahsul, 1992, 6:165) Ibn Taymiyah juga menekankan hala yang sama: “bahwa Shari’ah hadir untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.” (Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48) Peredaran masa tidak lantas menjadikan konsep maslahah ini berubah. Ia tetap menjadi pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis Islam kontemporer dalam menjabarkan kdandungan Syari’ah Islam. Disinilah letak kekeliruan kaum liberalis yang secara membabi buta menuduh kelompok pro Syari’ah sebagai literalis yang mengorbankan prinsip Maqasid. Sayyid Qutb, syahid yang dituding sebagai pelopor ekstrimisme gerakan Islam kontemporer, dalam tulisannya menyatakan betapa pentingnya fiqh “sebagai ruang teoretikal yang membolehkan perubahan asalkan masih dalam batasan framework umum Syari’ah.” (1988:49-50) Muhammad Qutb juga penganjur penerapan Syari’ah Islam menegaskan pernyataan saudara kandungnya diatas. Tulisnya: “pemimpin yang dipercayai mestilah berbuat sesuai dengan (pinsip) masalih al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan objetif akhir Syari’ah (Maqasid al-Syari’ah.. pemimpin berhak untuk beradaptasi dengan berbagai isu yang berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Akan tetapi dia hendaklah berpegang pada (prinsip) maqasid sebagai standard hukum dalam membuat keputusan.” (1991:39).

Dari kedua kutipan ini jelas sekali bahwa para pendukung Syari’ah Islam bukanlah orang-orang irrasional yang sama sekali tidak memahami prinsip Maqasid Syari’ah. Sebaliknya merekalah orang yang paling paling menghormati dan menganut prinisp ini. Sehinggakan mereka sanggup mati untuk mempertahankan prinsip dasar ini. Menurut al-Qaradawi salah ssatu faktor lahirnya gerakan ekstrimisme dikalangan masyarakat Islam hari ini, khususnya dibarisan pemudanya adalah tidak dihormatinya prinsip Maqasid tadi. Para penguasa negara Muslim bersikap tirani dan korup. Kebebasan tidak diberikan, prinsip keadilan diabaikan begitu saja. (lihat al-Qaradawi, The Islamic Awakening, 60-61&108-109) Dalam keadaan seperti wajar saja kalau orang beralih menuntut di terapkannya Syari’ah Islam, karena dalam pandangan mereka hanya dengan Syar’ah Islam permasalahan komplikated yang dihadapi masyarakat mereka dapat dihadapi.

Akan tetapi perlu diingat bahwa meskipun para ‘ulama dahulu dan aktivis Islam kontemporer menyatakan perlunya menjunjung tinggi prinsip Maqasid, mereka sama sekali tidak pernah mengabaikan apalagi mengorbakan ketentuan yang telah menjadi kategori qat’t al-thubut wa al-dilalah. Bukan seperti kaum liberalis, mereka tidak pernah menyatakan bahwa nas-nas qat’i ini sudah tidak relevan lagi pada masa sekarang ini karena gagal untuk merealisasikan masalah bagi masyarakat hari ini. Mereka tidak yakin adanya pertentangan antara nas qat’i dengan prinsip maqasid. Kata Qaradawi: “Adapun nas yang secara transmisi dan makna qat’i tidak mungkin bertabrakan dengan maslahah qat’iyah. Karena sesama qat’iyyat tidak mungkin berlaku kontradiksi” (2000:143). Adapun pandangan yang mengandaikan pertentangan antara kedunaya seperti yang dikemukan oleh Najmuddin al-Tufi hanyalah sekedar khayalan yang tidak wujud dalam dunia nyata. Ini terbukti Tufi sendiri gagal membawa contoh pertentangan itu. Itulah sebabnya Raysuni mengatakan bahwa pandangan Tufi itu hanya sekedar nazari iftiradi (teori belaka). (2000:38) Berdasarkan keyakinan inilah tak seorang ‘ulamapun yang berani mengatakan hukum hudud, qisas, waris, jilbab, dan seterusnya tidak relevan lagi pada saat sekarang ini karena bertentangan dengan maslahah manusia. Karena pernyataan ini sama sekali tidak berasas.

Muhammad al-Sid dalam bukunya al-Hudud (1996:9) menuliskan ‘the application of the hudud is mandatory and no one h as the right to avoid or circumvent it in any way, otherwise it would be a denial of the divine attributes mentioned above and a terrible disobedience to God.” Ditempat lain dia juga menyatakan “According to the Shari’ah, the hudud are immutable, mandatory and an integral part of legal system of the Islamic state.” (9-10) Di halaman lain dia kembali menegaskan bahwa ‘all the Muslim jurists are unanimous that the hudud laws are not subject to change or alteration,” karena pertama ia berdasarkan ayat qat’i al-thubut wa al-dilalah (72)

Anggapan bahwa hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari ini telah ditepis oleh banyak penulis. Sa’id Ramadan al-Buti (1992: 103; Raysuni, 2000: 45-49) menjelaskan bahwa salah satu unsur penting dari sesuatu hukuman adalah al-qaswah (kejam, keras, dan bengis). Kalaulah unsur ini hilang niscaya hilanglah makna sesuatu hukuman. Perlu diingat bahwa kekejaman hukuman itu sesuai dengan kekejaman yang dilakukan oleh si kriminal (the principle of retribution). Dengan begitu prinsip keadilan yang merupakan salah satu maqasid Syari’ah sudah terpenuhi.

Dasar filosfis dibuatnya hukuman adalah sebagai alat preventif. Ia bertujuan mendidik (deter) publik dan si kriminal tentang akibat (Consequence) yang harus ditanggung pelaku kejahatan. Semakin kejam (severe) sesuatu hukuman maka semakin effektif ia memberikan kesan kepada publik. Karena kekejaman itu akan menimbulkan rasa takut pada publik sehingga kemungkinan besar dapat menghalang calon kriminal untuk melakukan aksi kriminalitasnya. Apabila calon kriminal tad menghentikan aktifitasnya, masyarakat akan menjadi aman, nyawa dapat diselamtakan, harta, akal, serta nasal (keturunan)pun dapat terpelihara. Inilaha kemaslahatan tertinggi yang sebenarnya ingin dicapai oleh Syari’ah dan semua hukum yang ada didunia ini. Oleh sebab itu tidak layak dikatakan hukum hudud itu barbaric dan tidak dapat menciptakan kemaslahatan manusia hari ini.

Sebenarnya tingginya tingkat kriminalitas dimasyarakat kita hari ini seperti korupsi, perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan, disebabkan oleh gagalnya hukum untuk menjalankan fungsinya. Kegagalan ini bisa disebabkan berbagai faktor. Mungkin saja karena tidak adanya law enforcement. Akan tetapi juga tida menutup kemungkinan bahwa hal ini juga disebabkan oleh hukum itu sendiri yang tidak dapat memberikan perasaan jera dan takut kepada pelaku ataupun calon pelakunya. Di Malaysia law enfrocement telah dilakukan. Banyak para pemerkosa yang telah dijatuhi hukuman penjara. Tapi tingkat pemerkosaan, incest, semakin saja bertmbah. Hampir kebanyakan aktivis wanita khususnya melihat letak maslahnya pada hukum yang diterapkan. Oleh sebab itu mereka mencadangkan agar supaya hukuman bagi pemerkosa dan pelaku incest ditingkatkan. Demikian juga di Indonesia, seruan supaya pelaku tindak pindana korupsi dihukum lebih berat. Ini menunjukkan bahwa hukum yang sedia ada tidak dapat berfungsi dengan baik.

Banyak kalangan aktivis Islam liberal di Indonesia khususnya yang menggunakan teori Maqasid Syatibi untuk menjustifikasi penolakan mereka terhadap hukum Syari’ah yang qat’i. Ulil misalnya. Dalam artikelnya yang disebutkan diatas, dengan bersembunyi dibalik apa yang dia sebut sebagai nilai-nilai universal, menolak wajibnya hukum pemakaian jilbab. Tentu saja yang dimaksud Ulil menutup awrat dengan model yang dikenal dinegara kita hari ini. Baginya inti dari jilbab itu adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Implikasinya apabila membuka apa yang dianggap awrat oleh ajaran Islam sebuah kewajaran masyarakat, maka tidak salah bagi wanita untuk membuka awratnya, karena pada prinsipnya dia telah menjalankan makna universal pemakaian jilbab itu sendiri. Pandangan ini sangat kontra sekali dengan yang diungkapkan oleh Imam Syatibi, tokoh yang mempopularkan teori ini. Dalam Muwafaqat Syatibi menyatakan: “tidak ada perubahan padanya (pad hukum yang diperintahkan Allah secara jelas dan kategorikal), meskipun pandangan para mukallaf (orang dewasa) berbeda-beda. Maka tidak sah sesuatu yang baik berubah buruk dan buruk menjadi baik sehingga dikatakan misalnya: bahwa membuka awrah sekarang ini bukan lagi aib atau sesuatu yang buruk dan oleh sebab itu wajar untuk dibolehkan. Atau semisal ini. Andaikan hal ini diterima, maka ia merupakan penasakhan (penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan kontiniu. Dan nasakh sesudah wafatnya Rasullah adalah sesuatu yang batil.” (Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, 2:209)

Menurut ‘Abdul Majid al-Najjar, akar permasalahan disini sebenarnya terletak pada kesalahan kaum liberalis yang mencoba memisahkan antara maqsad (objektif) dan hukum yang menajdi wasilah kepada maqasid. Mereka melihat seolah kedua hal ini sesuatu yang berbeda, padahal sebenarnya mereka adalah satu. Apa yang diperintahkan Allah secara pasti tentunya pastilah akan mendatangkan masalahah, dan begitujuga sebaliknya. (1993:107) Apa yang selalu dikatakan dimana saja ada masalahah, disitulah ada shari’ah, kata Qaradawi seharunya di balik menjadi: haythuma wujida al-Shar’ fa thamma al-maslahah (dimana saja ada hukum syara’ disana pasti ada msalahah), dan sebaliknya belum tentu benar. Karena terkadang apa yang kita anggap maslahah sebenarnya bukan maslahah, mungkin saja is sudah di mulghah (dibatalakan) oleh syara’. Dalam keadaan seperti itu sudah tentu syara’ tidak hadir. Akan tetapi ketika syari’at ada, sudah pasti maslahah juga hadir disana, karena tidak mungkin Allah mensyari’atkan sesuatu tanpa ada maslahahanya, meskipun terkadang akal kita tidak dapat menangkap dan memahami maslahah tersebut. Pada saat itulah keimanan dan keislaman kita diuji, apakah kita menerima dan melaksanakanny dengan jawaban sami’na wa ata’na atau sebaliknya sami’na wa ‘asayna.

Petaling Jaya

7 Oktober 2003

0 comments:

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner


ShoutMix chat widget
Please enter your username and password to log in elvancyber page!


Widget edited by elvancyber

Bagaimanakah kesan anda terhadap elvancyber ?

The Cyber Of Cummunity

Rhakateza :: Blog orang Biasa

situs M Shodiq Mustika

salam ukhuwah - elvancyber - 2008 - elvancyber