Muhammad Ma’ruf ch
Belum lama, hiruk pikuk penerimaan siswa baru baik di Perguruan Tinggi maupun di sekolah-sekolah dasar menengah dan atas perlahan-lahan reda dan sepi.
Akibat itu semua, muncullah potret sosial. Dalam catatan Komnas Perlindungan anak, Hampir 12 juta lebih mereka putus sekolah. Dampak ikutan, anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan di Jakarta juga akan terus bertambah. Kurang lebig 3 juta jiwa mereka pekerja di bawah umur. Anak-anak ini sangat rawan menjadi sasaran perdagangan anak.Apalagi merebaknya kejahatan terorganisir, yaitu demi melanjutkan gaya hidup dan strugel of life, mereka banyak yang menjadi pedagang asongan, pengamen, pengemis, kuli panggul , pencopet, pedagang narkoba, atau menjadi pembantu rumahtangga, kawin di usia dini atau menjadi pelacur.
Secara kasat mata, itulah dampak langsung dari begitu besarnya angka putus sekolah di
Ditambah lagi Goncangan globalisasi melemparkan pendidikan
Sekenario glabal itu adalah Neoliberalisme pendidikan.Neoliberalisme sendiri adalah ‘polesan ‘ baru atau wajah baru dari liberalisme ekonomi yang pernah menjadi system ekonomi leberalnya Adam Smith, dan itu pernah gagal, dan dilanjutkan dengan penyalamat kapitalisme oleh Keynesian, ia memadukan peran negara dan swasta untuk membangkitkan ekonomi di abad ke 20,itupun tidak ada hasil Seiring krisis minyak dunia th 1973, dan akibat reaksi terhadap dukungan AS terhadap Israil dalam perang Yom Kippur, atau Perang Romadlon, dimana Negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah melakukan embargo terhadap AS dan sekutu-sekutunya, beaya-beaya fasilitas Negara sangat tinggi bebannya bagi mereka. Pada situasi panik inilah ide-ide libertarian sebagai wacana dominan. Mereka mengkaitkan antara pemikikiran liberal klasik Milldan Smith, walaupun sedikit berbeda , tetapi kesimpulan akhirnya sama: Intervensi Negara harus berkurang dan semakin berkurang sehingga individu akan lebih bebas berusaha.Sebagai Negara berkembang, tidak ada pilihan kecuali ‘nurut’. Implementasinya, dibawah pimpinan elit yang berkuasa, dan tanpa disadari mereka tetap dan pasti menjelma kepanjangan tangan peradaban global yang membawa jurang neoliberalisme. Sendi-sendi Negara yang sudah deplaning secara strategus dan dijadikan agenda-agenda Neoliberal adalah; Privatisasi BUMN, sudah berapa banyak Badan Usaha Milik Negara yang telah dikuasai oleh pihak asing? Dan berbarengan dengan ini, keharusan pemerintah melakukan pencabutan subsidi. Akibatnya adalah, melonjaknya angka kemiskinan di Negara kita ini.Sudah jutaan orang yang lumpuh perusahaan, pekerjaan dan semangat hidup.Ditambahlagi dengan Liberalisasi pasar, penguasaan sumber alam Indonesia oleh asing yang semakin mensejahterakan kaum modal dan melaparkan bangsa sendiri. dan yang tidak kurang dahsytnya adalah utang luar negeri menjadi ‘tumor ganas’, sewaktu-waktu akan menghabisi anak bangsa sendiri.akhirnya, dana raktayatlah yang dikuras untuk membayar utang.
Bias gelombang Neoliberalisme di Negara kita ini menyerang sel-sel kehidupan penting, utamanya dalam pendidikan generasi dan pelanjut bangsa. Sejumlah institusi pendidikan baik di kota-kota besar maupun kecil, telah mempropagandakan sebagai sekolahan yang terbaik, berkwalitas dan unggul. Kwalitas dan keunggulan tidak lagi diukur bagaimana sekolah memproses idealisme pendidikan, kebanyakan hanya pragmatisme yang dikedepankan, seperti gedungnya mewah, guru-gurunya keluaran S-2, S-3, dari lulusan Luar negeri, dan dengan uang pendaftaran yang besar. Semuanya ukuran prestise.
Tanpa disadari,Pandangan masyarakat telah dijajah oleh Neoliberalisme, siapa yang bermodal tinggi, itulah yang mendapat peluang. Kebijakan penyaluran Beaya Operasional Sekolah(BOS) atau sejenisnya, tidak banyak memberikan kontribusi mendasar. Sebab praktik-praktik pendidikan tidak lagi disertai dengan idealisme. Pendidik sebatas menunaikan tugas, akhir bulan gajian yang serba gali lobang tutup lobang. Hati dan fikirannya tidak lagi khusuk(konsentrasi) pada bagaimana meresapkan nilai-nilai pendidikan kepada orang-orang dihadapannya (murid) sebagai pelanjut kelak.
Neoliberalisme Pendidikan, mentelantarkan anak-anak bangsa menuju berfikir kapitalis-serba modal. Apa saja yang terkait dengan pendidikan harus dengan menyediakan modal. Bagi sebagian anak-anak yang tidak berkesanggupan melanjutkan pendidikannya karena beaya, selesailah harapan menuju prestasi pendidikan, meskipun pendidikan formal bukan menjamin keberhasilan anak-anak kita, tetapi masa depan bangsa ini tidak harus digadaikan kepada bangsa lain, hanya karena generasinya bodo-bodo dan tidak berilmu pengetahuan.
Memang, lembaga pendidikan merupakan bagian dari system social, ekonomi, dan politik yang ada. Jika system yang dominan saat ini adalah menguatnya kebijakan neoliberalisme, yang diwujudkan melalui privatisasi semua public good, termasuk pendidikan, sulit untuk berharap lembaga pendidikan mampu berperan sebagai badan independan untuk berdaya kritis terhadap rezim Neoliberalisme.
Pada ranah kehidupan lain, ada gejala yang kuat menunjukkan, lembaga pendidikan tengah mengembangkan diri menjadi suatu industri yang mengikuti logika kapitalisme pasar bebas, yang memososikan peserta didik sebagai pasar dan ilmu pengetahuan maupun karya ilmiah sebagai komoditas. Artinya, lembaga pendidikan mulai bergeser dari yang semula didukung Negara untuk pemenuhan hak-hak pendidikan dan mencerdaskan bangsa, menuju pada industri yang dikembangkan dan dikelola dengan sepenuhnya mengikuti logika permintaan dan penawaran pasar bebas.
Makna pendidikan pun telah bergeser. Pendidikan yang semestinya merupakan panggilan potensi diri baik yang manifest maupun laten, pembuka cakrawala berfikir tentang realitas kehidupan, menumbuhkembangkan jiwa dan pola fakir merdeka yang tiodak menghamba pada materi. Kenyataannya, lembaga pendidikan cenderung hanya memberikan pengajaran kepada peserta didiknya, tanpa melakukan proses pendidikan yang baik. Kecenderungan pengajaran konservatif menciptakan prototype peserta didik yang baik: akhirnya mencari uang sebanyak-banyaknya, entah dengan cara apa. Pengembangan ilmu, daya kritis, , kecerdasan social, kerelaan berkorban, keberpihakan terhadap kaum tertindas, menjadi kata-kata usang yang tidak popular. Walhasil, makna tujuan pendidikan mengalami deviasi yang riskan.
Sepatutnya, watak-watak otoriter dan feodalisme yang dipengaruhi Neoliberalisme ganas di dalam lembaga pendidikan, segera ada usaha kolaboratif stakeholder pendidikan untuk bersama-sama melakukan transformasi relasi akademis yang lebih idial.Mengutamakan pendidikan mental daripada pengajaran ilmu.
0 comments:
Posting Komentar